Pada usia 24 tahun, Kartini menikah pada 12 November 1903, meski bukan sebagai istri pertama dari K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, melainkan sebagai istri keempat Bupati Rembang tersebut. Suaminya mendukung penuh perjuangan Kartini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun, perjuangan Kartini tidak berlangsung lama, karena ia meninggal dunia pada usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putra semata wayangnya, RM Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904.
Delapan tahun setelah kematiannya, pada tahun 1912, didirikan Sekolah Kartini oleh Yayasan Kartini di Semarang. Peringatan Hari Kartini adalah bentuk penghormatan kepada perjuangan Kartini dalam mewujudkan kesetaraan, terutama dalam bidang pendidikan dan kesetaraan gender secara umum.
Setelah wafatnya R.A Kartini pada 17 September 1904, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H Abendanon, mencatat surat-surat Kartini dengan teman-temannya di Eropa dalam bukunya berjudul “Door Duisternis Tot Licht” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Buku ini mengisahkan perjuangan Kartini dalam menegakkan hak-hak wanita.
Baca Juga:Manfaat Buah Mangga untuk Kesehatan Tubuh, Simak Khasiatnya di SiniRekomendasi HP Gaming dengan Spesifikasi Canggih Serta Kualitas Grafik Terbaik, Simak di Sini
Penting bagi perempuan Indonesia untuk menjaga tiga peran utama sebagai bentuk penghormatan kepada R.A Kartini:
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar perempuan dapat berperan dalam pembangunan.
- Meningkatkan kualitas diri dan wawasan ilmu sebagai bekal dalam mendidik anak-anak, menjadi kartini milenial yang melek teknologi dan informasi.
- Memungkinkan perempuan untuk berekspresi, mewujudkan ide-ide kreatif, dan menyuarakan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi sekitarnya.
Dengan demikian, biografi R.A Kartini menjadi sumber inspirasi bagi perempuan Indonesia dalam memperjuangkan emansipasi wanita.