KURASI MEDIA – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tengah menjadi sorotan publik dan kalangan pesantren setelah mengambil sejumlah kebijakan pendidikan yang dianggap kontroversial, khususnya terhadap lembaga pendidikan agama di Jabar.
1. Pemangkasan Hibah Pesantren
Pada tahun 2025, Pemprov Jawa Barat memutuskan memangkas anggaran hibah pesantren dari sebelumnya Rp 153 miliar menjadi hanya Rp 9,25 miliar. Dana tersebut hanya dialokasikan untuk dua lembaga, yaitu LPTQ Jabar (Rp 9 miliar) dan Yayasan Mathlaul Anwar Ciaruteun Udik (Rp 250 juta)
Gubernur Dedi menyatakan bahwa pemangkasan ini diperlukan untuk memperbaiki tata kelola dan memastikan distribusi hibah lebih merata, serta tidak hanya diberikan kepada lembaga yang memiliki akses politik
Baca Juga:Beda Pernyataan KDM Sebelum dan Setelah Tragedi Pesta Pernikahan Anaknya di GarutBuntut Kebijakan KDM, SMK Swasta di Karawang hanya Dapat 9 Siswa Baru Saja
Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari DPRD dan tokoh pesantren. Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, menilai langkah ini mengabaikan aspirasi publik dan menciderai nilai musyawarah dalam kebijakan public. Fraksi PKS Jabar juga mengingatkan agar proses demokrasi tetap dijaga dan pihak pesantren dilibatkan lebih awal dalam dialog pengambilan keputusan
2. Kebijakan Penyerahan Ijazah: Polemik Baru
Gubernur Dedi mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan sekolah formal menyerahkan ijazah secara sukarela kepada semua siswa, tanpa syarat. Sanksi bagi sekolah atau pesantren penyangkal termasuk tidak mendapatkan bantuan BPMU dan pencabutan izin operasional
Pengurus PCNU Bekasi dan organisasi pesantren seperti RMI NU menyatakan bahwa kebijakan tersebut dibuat tanpa melalui kajian komprehensif maupun keterlibatan pemangku kepentingan. Mereka menilai kebijakan tersebut bersifat intimidatif dan berdampak negatif pada keuangan operasional pesantren yang bergantung pada pembayaran santri
Akibatnya, banyak pesantren menanggung tunggakan dari alumni beberapa pesantren mengalami piutang hingga Rp1 hingga Rp1,7 miliar hanya karena ijazah mereka diserahkan sebelum kewajiban santri terpenuhi
Tanggapan Akademis dan Publik
Akademisi seperti Rasminto dari Unisma mendukung pembenahan tata kelola hibah, namun menekankan pentingnya keterbukaan, verifikasi independen, dan afirmasi terhadap lembaga pesantren berbasis komunitas agar bantuan tepat sasaran tanpa melupakan keadilan sosial
Sementara itu, PCNU Bekasi dan BMPS Bekasi mengecam kebijakan ijazah tersebut sebagai tidak etis dan mengancam fungsi pendidikan pesantren. Mereka mendesak DPRD Jabar untuk mendorong revisi kebijakan atau menjamin pengecualian khusus bagi pesantren dalam regulasi tersebut