Teks Khutbah Jumat 25 Juli 2025: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa

Teks Khutbah Jumat
Teks khutbah jumat mengenai hilangnya rasa malu ketika berbuat dosa. (Pixabay/Ben_Kerckx)
0 Komentar

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Malu adalah salah satu sifat yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan, tanpa memikirkan konsekuensi atau dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain.

Perubahan nilai dan norma sosial, pengaruh media sosial, dan tekanan untuk menjadi “sempurna” di mata publik dapat menjadi faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya rasa malu di kalangan masyarakat.

Banyak orang yang lebih memprioritaskan popularitas dan pengakuan daripada menjaga kesucian dan wibawa diri. Bahkan, berkurangnya rasa malu ini bisa menyebabkan orang berani memamerkan kemaksiatan dan kejahatan.

Baca Juga:Teks Khutbah Jumat 18 Juli 2025: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-DosaTeks Khutbah Jumat 18 Juli 2025: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara

Oleh karena hal tersebut penting sekali bagi seorang mukmin memiliki sifat malu. Karena dengan sifat malu tersebut ia dapat mengendalikan dan mengelola pribadinya agar tidak terjerumus dalam hawa nafsu yang mendorong pada kemaksiatan atau hal-hal buruk lainnya.

Dalam Islam malu dinilai sebagian dari bentuk keimanan. Sebagaimana sabda Baginda nabi Muhammad SAW:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Artinya: “Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”

(Muattafaq alaih) Dalam kesempatan lain beliau nabi juga bersabda:

الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ، وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ، وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ

Artinya: “Malu adalah bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Sedangkan perbuatan keji (tidak tahu malu) adalah bagian dari keras kepala (kasar), dan keras kepala (tidak mau menerima dan tidak peduli akan kebenaran) tempatnya di neraka.” (HR Ibnu Majah)

Kiranya dua hadits ini cukup untuk kita jadikan pedoman, bahwa rasa malu merupakan sifat yang penting dimiliki pribadi seorang mukmin.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah Selanjutnya, Imam Abu Laits As-Samarqandi dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin halaman 478 membagi rasa malu menjadi dua aspek:

الْحَيَاءُ عَلَى وَجْهَيْنِ: حَيَاءٌ فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَحَيَاءٌ فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللّٰهِ تَعَالَى، أَمَّا الْحَيَاءُ الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَغُضَّ بَصَرَكَ عَمَّا لَا يَحِلُّ لَكَ، وَأَمَّا الْحَيَاءُ الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللّٰهِ تَعَالَى أَنْ تَعْرِفَ نِعْمَتَهُ فَتَسْتَحِيَ أَنْ تَعْصِيَهُ.

Artinya: “Malu memiliki dua aspek: malu terhadap manusia dan malu terhadap Allah Ta’ala. Adapun malu terhadap manusia adalah dengan kamu menundukkan pandangan dari apa yang tidak halal bagi kamu. Sedangkan malu terhadap Allah Ta’ala adalah mengakui nikmat-Nya, sehingga kamu merasa malu untuk bermaksiat kepada-Nya.”

Baca Juga:Teks Khutbah Jumat 11 Juli 2025: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa Bulan MuharramTeks Khutbah Jumat 4 Juli 2025: Keistimewaan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Dua aspek rasa malu ini jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka akan berdampak positif bagi pribadi seorang mukmin.

0 Komentar