KURASI MEDIA – Renovasi Gedung Sate dengan biaya 3,9 miliar rupiah dan penambahan ornamen bernuansa candi kembali memunculkan pertanyaan serius tentang arah tata kelola pemerintahan di Jawa Barat. Publik bertanya: apa urgensi perubahan estetika ini? Apa relevansinya dengan kebutuhan masyarakat? Dan apa dasar akademik serta historis di balik keputusan tersebut?
Sebagai akademisi dan aktivis, saya memandang fenomena ini bukan sekadar perkara “pagar diganti model candi”, tetapi sebagai indikator adanya problem tata kelola yang lebih dalam: mulai dari lemahnya perencanaan anggaran, minimnya partisipasi publik, hingga ketidakkonsistenan terhadap prinsip pelestarian heritage.
Gedung Sate bukan sekadar bangunan pemerintahan. Ia ikonik, penuh nilai sejarah, dan menjadi representasi identitas Jawa Barat. Setiap intervensi pada bangunan ini, meski kecil, memiliki implikasi simbolik dan politis yang besar. Karena itu, proyek estetika seperti ini tidak boleh didekati secara serampangan.
Baca Juga:Yayasan The Aly Hassan Terrace Resmi Mulai Bangun Gedung Rumah Tahfidz Qur’an dan PKBM di BogorResmikan Pasar Tematik Di Parigi Moutong, Kemenkop Dorong Pengembangan Ekonomi Lokal Lewat Koperasi
Pertama: Proyek yang Minim Justifikasi Perencanaan
Dalam dokumen perencanaan daerah seperti RPJMD atau Renstra OPD, renovasi Gedung Sate terutama yang mengubah wajah arsitekturnya tidak tercantum sebagai program prioritas. Ini menandakan bahwa proyek tersebut bukan bagian dari perencanaan jangka menengah, melainkan keputusan inkremental yang lahir dari preferensi internal birokrasi atau elit.
Sebagai akademisi administrasi publik, kita memahami bahwa kebijakan yang baik harus lulus uji rasionalitas: ada kajian teknis, ada studi kelayakan, ada pertimbangan biaya-manfaat, dan ada konsultasi publik. Namun hingga kontroversi mencuat, tidak ada dokumen resmi yang menjelaskan:
- apa dasar teknis renovasi,
- apa urgensi penambahan elemen candi,
- dan bagaimana dampaknya terhadap nilai heritage Gedung Sate.
Proyek estetika tanpa justifikasi adalah indikator tata kelola yang problematik. Pemerintahan yang rasional bekerja berdasarkan kajian; bukan berdasarkan selera.
Kedua: Mengabaikan Prinsip Heritage dan Identitas Arsitektural
Gedung Sate dirancang oleh arsitek J. Gerber pada 1920-an dengan gaya Indo-European yang menggabungkan modernitas Eropa dan estetika Nusantara. Integritas desain ini merupakan bagian dari memori kolektif warga Jawa Barat.
Ketika elemen candi ditambahkan secara artifisial, tanpa kajian sejarah atau arsitektur, yang terjadi bukan “pelestarian”, tetapi distorsi identitas. Dalam kajian heritage governance, tindakan seperti ini disebut dissonant heritage, memaksakan narasi baru yang tidak selaras dengan sejarah bangunan.
