Politik Estetika dan Krisis Tata Kelola: Mengapa Renovasi Gedung Sate 3,9 M Bernuansa Candi Layak Dikritisi

Politik Estetika dan Krisis Tata Kelola: Mengapa Renovasi Gedung Sate 3,9 M Bernuansa Candi Layak Dikritisi
Foto : Izus Salam S. Sos (Ketua Umum PW KAMMI Jawa Barat, Mahasiswa Magister Administrasi Publik UNPAD)
0 Komentar

Melakukan perubahan estetika pada bangunan bersejarah tanpa melibatkan:

  • akademisi arsitektur,
  • komunitas heritage,
  • sejarawan budaya,
  • serta Ikatan Arsitek Indonesia (IAI),

adalah langkah yang tidak dapat dibenarkan secara akademik maupun etika pelestarian.

Jika pola ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan kelak banyak bangunan heritage di Jabar mengalami “eksperimentasi estetika” serupa, padahal identitas historis adalah sesuatu yang harus dijaga, bukan diotak-atik seenaknya.

Ketiga: Defisit Legitimasi Publik dan Keterbukaan Informasi

Di era governance modern, transparansi dan partisipasi adalah syarat legitimasi kebijakan. Habermas menyebutnya legitimasi komunikatif: kebijakan harus dipahami dan diterima melalui proses dialog dengan publik.

Sayangnya, renovasi Gedung Sate dilakukan dengan:

Baca Juga:Yayasan The Aly Hassan Terrace Resmi Mulai Bangun Gedung Rumah Tahfidz Qur’an dan PKBM di BogorResmikan Pasar Tematik Di Parigi Moutong, Kemenkop Dorong Pengembangan Ekonomi Lokal Lewat Koperasi  

  • minim penjelasan ke publik,
  • minim forum diskusi,
  • minim dokumentasi yang dibuka,
  • dan minim pelibatan masyarakat.

Akibatnya, publik merespons dengan kritik luas. Tidak mengherankan: kebijakan yang tidak membuka ruang partisipasi biasanya melahirkan kecurigaan. Apalagi ketika menyangkut ikon sejarah dan uang rakyat.

Masyarakat berhak bertanya: apakah proyek ini benar-benar prioritas? Apakah tidak ada kebutuhan yang lebih mendesak, seperti penanganan pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur wilayah?

Keempat: Indikasi Perubahan Arah Prioritas yang Tidak Sinkron

Anggaran 3,9 miliar memang bukan angka besar di level APBD. Namun persoalannya bukan pada besar-kecilnya angka, melainkan arah prioritas. Pemerintah daerah seharusnya fokus pada peningkatan layanan publik, bukan proyek kosmetik.

Ketika pemerintah di awal kepemimpinan baru justru mengirim sinyal prioritas estetika visual, publik wajar merasa kecewa. Ini berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap agenda-agenda besar pemerintah berikutnya.

Sebagai akademisi, saya melihat hal ini sebagai bentuk misalignment of public value ketidaksesuaian antara apa yang dibutuhkan masyarakat dan apa yang diprioritaskan pemerintah.

Kelima: Risiko Jangka Panjang terhadap Tata Kelola Daerah

Jika renovasi Gedung Sate menjadi preseden, maka risiko jangka panjangnya adalah:

1.Anggaran publik dialihkan ke estetika simbolik ketimbang pelayanan dasar.

2.Proyek-proyek heritage di masa depan dikelola tanpa kajian memadai.

3.Kota dan provinsi kehilangan identitas arsitektur yang otentik.

4.Kebijakan publik semakin dipengaruhi selera visual pemimpin, bukan kebutuhan riil masyarakat.

0 Komentar