Terkait dengan kebijakan ini, sebagian besar sekolah menyelenggarakan TKA yang menurut kabar demi “keamanan”, sehingga semua siswa diwajibkan ikut dengan pertimbangan tersebut. Alasan lainnya, TKA juga dianggap lebih objektif dibandingkan dengan evaluasi pendidikan yang hanya mengandalkan nilai rapor. Hasil TKA saat ini sedang dalam proses pengolahan dan validasi yang hasilnya diperkirakan akan diumumkan pada bulan Januari 2026. Pihak kementerian yang sudah menerima data mentah TKA seharusnya tidak serta merta menyalahkan guru sebagai dalang anjloknya TKA terutama dalam bidang matematika, karena hasil akhir resminya belum ada.
Seyogyanya TKA siswa, apapun hasilnya, menjadi bahan evaluasi semua pihak. Tidak boleh ada pernyataan prematur yang muncul ke publik, apalagi dari seorang pejabat publik. Alih-alih menjadi informasi yang mendidik malah menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Setelah pernyataan Mendikdasmen viral dimana-mana dan menimbulkan kegaduhan, sebagaimana biasa, dikoreksi karena bukan itu maksudnya. Padahal ucapan yang sudah menyebar di ranah publik tidak bisa dihapus begitu saja dalam ingatan. Lalu apa tindakan yang sebenarnya lebih bijaksana untuk menyongsong “musibah” TKA secara nasional ini? Ya, tentunya berbenah. Semua pihak yang terlibat dan berkepentingan harus saling berintrospeksi untuk perbaikan di masa yang akan datang. Di samping itu, para siswa juga perlu diingatkan bahwa sebuah tes, apapun nama dan jenisnya, harus dihadapi dengan sungguh-sungguh, karena pada dasarnya untuk kebaikan dan masa depan mereka.
Berbekal nilai matematika siswa pada TKA 2025 yang “jeblok”, kita semua harusnya berbenah secara keseluruhan. Dari mana kita memulai? Tentu dimulai dari apa yang dapat kita usahakan. Sebagai pemegang kuasa, pemerintah seyogianya mengkaji ulang kurikulum. Apakah kemampuan yang ditargetkan harus dikuasai siswa sudah diberi jalur dan tahapan pencapaian yang memadai? Apakah fasilitas sekolah sudah dicukupkan? Apakah jumlah guru sudah dengan jumlah siswa yang dikelolanya? Lalu yang tak kalah penting, apakah “apresiasi” untuk guru telah sepadan dengan tugas yang diembannya?
Baca Juga:Rumah Tangga Ridwan Kamil di Ujung Tanduk, Atalia Praratya Ajukan Gugatan CeraiPerkuat Pendidikan Vokasi di Karawang Melalui Program Astra Honda Berbagi Ilmu
Apakah kualitas dan jumlah buku yang beredar sudah sesuai dengan tuntutan dan selaras dengan kebutuhan? Selama beberapa tahun terakhir, buku terbitan nasional hanya menyesuaikan halaman judul dan tata letak saja ketika terjadi pergantian kurikulum, namun isinya relatif tidak berubah. Lalu, ketika informasi tentang kebijakan pendidikan yang baru sampai ke telinga guru, apakah ada sosialisasi sehingga mereka memahami benar apa yang dimaksudkan? Adakah pelatihan yang memadai untuk para guru sehingga mereka tahu persis apa yang harus dilakukan?
