Film Dokumenter Indonesia “Degayu: Againts the Shore” Curi Perhatian di COP28, Kok Bisa? 

Film Dokumenter Indonesia "Degayu: Againts the Shore" Curi Perhatian di COP28, Kok Bisa? 
Film Dokumenter Indonesia "Degayu: Againts the Shore" Curi Perhatian di COP28, Kok Bisa? 
0 Komentar

KURASI MEDIA – Sebuah film dokumenter Indonesia berjudul “Degayu: Against the Shore” menjadi sorotan di antara ribuan kegiatan di COP28 UNFCCC, konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim, yang diadakan baru-baru ini di Dubai, Uni Emirat Arab.

Film berdurasi 25 menit berbahasa Indonesia dengan teks bahasa Inggris ini, menggambarkan kisah masyarakat pesisir di desa Degayu, Pekalongan, Jawa Tengah.

Pemukiman di sana telah terendam secara permanen sejak tahun 2017, ditinggalkan karena kenaikan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah, dan diprediksi akan tenggelam secara perlahan pada tahun 2035.

Baca Juga:Rossa Sukses Gelar Konser Tunggalnya di MalaysiaBerada di Grup yang Sama, Pasangan Fajar/Rian dan Bagas/Fikri Berharap Lolos Bersama di Penyisihan BWF World Tour Finals 202

Dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, banjir, dan kekeringan telah merusak ekosistem dan berdampak pada masyarakat yang paling miskin dan rentan, terutama di pulau-pulau kecil, daerah pesisir, kota besar, dan pegunungan tinggi.

Melalui perjuangan mereka, masyarakat Degayou membuktikan bahwa mereka dapat beradaptasi dengan keadaan mereka dan membangun ketahanan dalam menghadapi krisis iklim.

Degaille mencerminkan tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir di seluruh dunia dan dipandang sebagai bukti nyata akan perlunya mendanai kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh dampak perubahan iklim.

Banyak penonton yang mengatakan bahwa mereka tersentuh oleh film tersebut.

Mereka tahu banyak tentang kenaikan permukaan air laut, tetapi mereka tidak memahami besarnya yang sebenarnya.

Film ini dianggap sebagai pembuka mata akan tantangan yang akan kita hadapi di masa depan jika kondisi ini tidak segera berubah.

Diproduksi oleh ClimArt-nya, sebuah gerakan Youth Climate Reality Leaders, film ini menggabungkan seni dan perlindungan iklim dan bertujuan untuk menarik perhatian publik, terutama generasi muda.

Ahasanya AR Agnetha, 23 tahun, membawa perspektif baru pada krisis iklim dan ingin agar para pembuat film dan aktivis seni menggunakan kreativitas mereka untuk menyuarakan penderitaan masyarakat yang terlupakan.

Baca Juga:Jelang Konser Tunggal di Bandung, Afgan Akan Hadirkan Dua Bintang Tamu Spesial Ini!Victor Osimhen Dinobatkan Sebagai Pemain Terbaik Afrika 2023 dalam Ajang CAF

Film ini menggabungkan fakta dan emosi dengan pendekatan dokumenter yang puitis dan eksplisit, dan merupakan film orisinil yang dibuat oleh anak muda Pekalongan dengan tujuan memberikan nuansa emosional pada krisis iklim.

Film ini juga diperkaya dengan soundtrack. Selain di Paviliun Indonesia, film ini juga ditayangkan dan didiskusikan di Monash Pavilion, Civil Society Hub, dan pada acara bersama YOUNGO (UNFCCC Youth Constituency), ICLEI, dan Care About Climate.

0 Komentar