KURASI MEDIA – Samanta Elsener, seorang psikolog anak dan keluarga, mengatakan bahwa pelaku perundungan sering kali mencari korban yang dianggap lebih lemah untuk melakukan perundungan.
“Pada umumnya, profiling dilakukan untuk mencari kekuatan korban yang lebih lemah dari pelaku. Dia (penyerang) selalu mencari korban yang bisa dijadikan tempat melampiaskan polaritas emosi yang destruktif karena ketidakmampuannya menyelesaikan konflik,” kata Samanta dikutip dari Antara, Selasa (10/10).
Samanta mengatakan perasaan ingin mengancam korban yang dianggap lebih lemah muncul karena pelaku ingin menciptakan citra lebih kuat dan lebih mulia dari korban.
Baca Juga:Spesifikasi Samsung Galaxy A05s dan A05 dengan Prosesor Snapdragon 680 Bikin HP Gak Lemot, Cek Harganya Sekarang!Ini Porsi Makanan Seafood yang Harus Diperhatikan Ibu Hamil
Perundungan juga akan dilakukan dengan cara yang sangat dominan, agresif, dan impulsif.
Pelaku bullying percaya bahwa dengan menindas orang yang lebih lemah akan meringankan kebencian atau perasaan negatif lainnya.
Alasan lain mengapa pelaku intimidasi melakukan pelecehan adalah karena ia ingin menutupi kekurangannya atau menilai dirinya secara negatif.
Pelaku juga tidak memahami bahwa perilaku tersebut salah dan tidak bersimpati pada korban.
“Meski sudah berulang kali diingatkan untuk tidak mem-bully atau menyerang temannya, pelaku tetap tidak bisa mengendalikan diri dan terus melakukan perundungan terhadap korban,” katanya.
Menurut Samanta, perundungan dan pelecehan yang dilakukan oleh pelaku bisa jadi karena kurangnya kasih sayang dalam keluarga.
Situasi itu membuatnya ingin mencari pembuktian atas kemampuannya dengan mendapatkan kekuatan yang serupa dengan orang tuanya di lingkungan sekolah.
Baca Juga:Patut Dicoba! 5 Tips Atasi Stress Tanpa Kurangi Kantong KeringMeta Luncurkan Fitur AI untuk Pengiklan Lebih Menarik
Alasan lainnya adalah karena pelaku merupakan korban kekerasan baik di lingkungan sekitar maupun di rumah dari orang tua.
“Bisa juga karena pelaku tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya, seperti ditelantarkan, diabaikan, dan ditolak secara emosional oleh orang tuanya,” katanya.
Perempuan yang juga anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ini menyarankan agar pemerintah memasukkan program konseling ke dalam kurikulum sekolah untuk mengatasi maraknya kasus perundungan yang terutama terjadi di lembaga pendidikan.
Kurikulum sekolah dapat memasukkan pentingnya anti-bullying di sekolah, sehingga anak-anak dapat mempelajari perilaku yang membedakan antara bermain, konflik, dan bullying.
Selanjutnya, pemerintah harus melakukan asesmen berkala terkait kondisi psikologis anak, sehingga jika ada anak yang membutuhkan bantuan profesional, mereka dapat segera berkonsultasi dengan konselor sekolah.