KURASI MEDIA – Saut Horas H Nababan Ph.D, Sp.PD-KGEH, MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, menjelaskan bahwa elastografi hati merupakan metode pemeriksaan non-invasif, mudah dan tidak menimbulkan rasa sakit, terutama pada pasien dengan penyakit hati kronis.
Sederhananya, kata dia, alat ini mengukur kekakuan hati yang secara tidak langsung berhubungan dengan tingkat fibrosis hati.
Jadi, dengan menggunakan alat ini, dokter dapat mengevaluasi apakah ada komplikasi yang berkaitan dengan penyakit hati kronis yang diderita pasien.
“Jadi alat ini dapat digunakan pada kasus-kasus seperti infeksi virus hepatitis B dan C, sirosis, penyakit hati alkoholik, penyakit hati non-alkoholik dan penyakit hati yang berhubungan dengan gangguan metabolisme. Alat ini juga berguna untuk memantau perkembangan penyakit hati yang disebabkan oleh obat atau autoimun,” ujar Dr. Saut dikutip dari Antara, Kamis (26/10/23).
Baca Juga:Dokter Spesialis Ungkap Pentingnya Deteksi Kanker Payudara Sejak Dini, Ini Alasannya!Intip Tips Mengatur Keuangan Agar Tidak Boros Ala Influencer Tyna Dewi
Perbedaan antara elastografi hati dan sonografi (USG), menurut Dr. Saut, adalah informasi yang diberikan oleh metode tersebut.
“USG biasanya mengevaluasi struktur dan kondisi organ, sedangkan elastografi hati mengevaluasi tingkat fibrosis dan perlemakan hati,” jelas Dr.
Dia menjelaskan bahwa elastografi hati memiliki beberapa keuntungan, termasuk non-invasif dan tidak memerlukan tusukan jarum atau pemotongan, dan tidak menimbulkan rasa sakit karena pasien tidak akan merasa tidak nyaman atau sakit selama prosedur.
Pemeriksaan dan akan dapat menilai tingkat fibrosis dan derajat perlemakan hati.
Untuk pasien yang mempertimbangkan elastografi hati, Dr. Saut menjelaskan bahwa metode ini tidak memerlukan persiapan khusus, hanya puasa selama tiga jam sebelum pemeriksaan. Waktu pemeriksaan elastisitas hati yang singkat, sekitar 5 hingga 10 menit, pasien dapat melihat hasilnya secara langsung.
Hasil pemeriksaan dapat membantu dokter mendiagnosa, menentukan tingkat keparahan penyakit hati, merencanakan pengobatan dan memantau perkembangan pasien selama pengobatan.
Pertahankan gaya hidup sehat, mencegah lebih baik daripada mengobati. Untuk itu, Dr. Saut menyarankan masyarakat untuk menjaga pola hidup sehat dengan memperhatikan pola makan untuk mencegah obesitas dan diabetes yang berkontribusi pada peningkatan kasus perlemakan hati.
Baca Juga:Anak Terserang Batuk Pilek, Dokter Ungkap Waktu Tak Perlu Diberi ObatIni Dia Tips Hasil Foto Keren Cuma Pakai Kamera Handphone, Anti Gagal!
“Kasus perlemakan hati metabolik di Indonesia meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Faktor-faktor seperti perubahan gaya hidup, pola makan yang tidak sehat, tingkat obesitas dan diabetes yang tinggi telah berkontribusi terhadap peningkatan kasus perlemakan hati di Indonesia,” ujarnya.