Pemerkosaan Massal Mei 1998 Ramai Menjadi Perbincangan, Bagaimana Fakta Sejarahnya?

Ilustrasi Kekerasan Seksual Pada Perempuan
Pemerkosaan Massal Mei 1998 Ramai Menjadi Perbincangan, Bagaimana Fakta Sejarahnya? (freepik/freepik)
0 Komentar

KURASI MEDIA – Penulisan ulang sejarah Indonesia merupakan inisiatif pemerintah untuk memperbarui narasi sejarah nasional yang selama ini beredar di masyarakat. Program ini berada di bawah koordinasi Kementerian Kebudayaan dan dijadwalkan rampung pada Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Menteri Kebudayaan dalam Kabinet Merah Putih, Fadli Zon, menyatakan bahwa proyek ini bertujuan untuk menghapus pengaruh bias kolonial, memperkuat identitas bangsa, serta merespons tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.

Sebanyak 113 penulis, 20 editor untuk masing-masing jilid, serta tiga editor umum yang berasal dari kalangan sejarawan dan akademisi di bidang arkeologi, geografi, sejarah, serta ilmu humaniora lainnya, turut ambil bagian dalam proyek ini.

Baca Juga:Sengketa 4 Pulau Aceh – Sumut, Akhirnya Menemukan Titik Temu?Hari Pahlawan Nasional 2023: Kisah dan Inspirasi R.A Kartini untuk Perjuangan Perempuan

Hasil akhir dari program ini adalah 11 jilid buku sejarah resmi yang mencakup periode dari masa prasejarah hingga masa pemerintahan Presiden ketujuh, Joko Widodo. Buku-buku ini dirancang untuk menjadi referensi utama dalam pengajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Proyek ini didukung oleh anggaran negara sebesar Rp 9 miliar dan dipimpin oleh Susanto Zuhdi, seorang guru besar sejarah maritim dari Universitas Indonesia.

Sejak diumumkan pada awal tahun 2025, proyek penulisan ulang sejarah ini telah memicu perdebatan publik, termasuk kontroversi di kalangan sejarawan. Sejumlah pihak mempertanyakan sejauh mana urgensi dari proyek ini serta motif yang melatarbelakanginya.

Salahsatu sejarah yang disoroti akibat adanya proyek penulisan ulang sejarah ini adalah soal “Pemerkosaan Massal Tahun 1998”. Aktivis perempuan Mutiara Ika Pratiwi mengkritik proses penulisan ulang sejarah yang dinilai tertutup dan minim partisipasi publik. Ia menilai kurangnya transparansi dalam proyek ini dapat membuka peluang dihapusnya catatan sejarah terkait pelanggaran HAM dan kekerasan struktural, termasuk insiden kekerasan terhadap perempuan seperti pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998.

Pemerkosaan massal tahun 1998 merupakan rangkaian kekerasan seksual yang terjadi secara sistematis dan terorganisir terhadap perempuan Indonesia keturunan Tionghoa, sebagai bagian dari kerusuhan Mei 1998. Aksi brutal ini berlangsung di berbagai kota, seperti Jakarta, Tangerang, Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, dan Medan.

Jumlah korban yang teridentifikasi mencapai 85 orang, mayoritas adalah perempuan Tionghoa dari berbagai latar belakang sosial. Namun, sejumlah laporan menyebut angka sebenarnya kemungkinan melebihi 152 korban. Menurut data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), dari 85 korban tersebut, 52 mengalami pemerkosaan, 14 menjadi korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 mengalami kekerasan atau penyerangan seksual, dan 9 lainnya mengalami pelecehan seksual.

0 Komentar