KURASI MEDIA – Di tengah isu krisis perumahan dan tingginya harga tanah, program rumah subsidi memang hadir sebagai angin segar. Namun muncul rumah subsidi berukuran 14 meter persegi justru menimbulkan kontroversi. Banyak pihak menilai ukuruan sekecil itu lebih pantas disebut hunian sementara atau bahkan gudang. Bukan tempat tinggal yang layak.
Dengan luas hanya 14 meter persegi setara dengan ukuran kamar kos standar pertanyaan utamanya: bagaimana mungkin satu keluarga hidup layak di ruang sekecil itu? Tidak ada cukup ruang untuk ruang tamu, dapur yang layak, atau bahkan privasi. Dalam konsep hunian yang manusiawi, rumah bukan sekadar tempat berteduh, tapi juga tempat berkembangnya kehidupan keluarga. Rumah 14m² sangat membatasi itu semua.
Bukan Solusi Jangka Panjang
Alih-alih menyelesaikan masalah backlog perumahan, rumah 14m² justru berpotensi melahirkan masalah baru: hunian tak layak. Banyak pengamat tata ruang dan aktivis hak atas perumahan menyebut ini sebagai solusi instan yang bisa berdampak buruk di masa depan, terutama jika kawasan semacam ini berubah menjadi slum area karena overkapasitas penghuni.
Lebih Cocok untuk Fungsi Alternatif
Baca Juga:Indonesia Tumbang 0-3 dari Bahrain, Lolos ke Perempat Final Sebagai Runner-Up Grup7 Alasan Kenapa Emprit Jepang Jadi Burung Kecil Paling Dicari di Indonesia!
Daripada dijual sebagai rumah tinggal, bangunan 14m² lebih cocok dijadikan:
Kios UMKM: Tempat usaha mikro seperti warung kelontong atau jasa kecil.
Gudang Sementara: Penyimpanan barang untuk skala rumah tangga.
Hunian Darurat: Sementara bagi korban bencana alam.
Ruang Transit: Misalnya untuk pekerja proyek dengan masa tinggal singkat.
Tuntutan Rumah Layak, Bukan Sekadar Murah
Subsidi perumahan seharusnya menjamin kelayakan hidup, bukan sekadar memenuhi angka kepemilikan rumah. Pemerintah harus meninjau ulang standar minimum rumah subsidi, termasuk luas lahan dan bangunan. Program subsidi semestinya menyasar kualitas hidup, bukan hanya kuantitas bangunan.
Ukuran rumah 14m² bukan solusi jangka panjang untuk persoalan perumahan rakyat. Justru bisa menjadi bentuk kompromi atas hak warga atas hunian yang layak. Saatnya mendorong kebijakan perumahan yang berpihak pada kehidupan manusiawi—bukan hanya angka statistiK.