KURASI MEDIA – Di tengah hiruk pikuk dunia modern, tradisi Jawa kuno Mubeng Beteng tetap hidup dan bahkan makin menarik perhatian, terutama setiap memasuki malam satu suro, malam pergantian tahun baru Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.
Apa Itu Mubeng Beteng?
Mubeng Beteng berarti “mengelilingi benteng”. Ini adalah tradisi jalan kaki secara hening mengelilingi Benteng Keraton Yogyakarta sejauh kurang lebih 4 kilometer, dilakukan tanpa berbicara dan tanpa alas kaki (tapa bisu).
Peserta mulai berjalan tepat tengah malam, menapaki jalanan kota dalam suasana sunyi, sebagai simbol tirakat, doa, dan refleksi diri. Tradisi ini terbuka untuk umum, dan siapa saja boleh ikut dengan syarat menjaga tata tertib spiritualnya.
Asal Usul Mubeng Beteng
Baca Juga:Terus Perluas Pemahaman Masyarakat, BPJS Kesehatan Gelar Sosialisasi JKN di Kecamatan +CicendoDunia Digegerkan! China Ciptakan Drone Sekecil Nyamuk, Bisa Jadi Mata-Mata?
Tradisi ini berasal dari masa Kesultanan Mataram, saat para prajurit mengelilingi keraton sebagai bentuk penjagaan. Seiring waktu, Sultan Agung raja Mataram yang memadukan penanggalan Jawa dan Hijriah mengubahnya menjadi ritual spiritual yang sarat makna.
Mubeng Beteng juga pernah menjadi bagian dari ritual tolak bala, khususnya di masa wabah, seperti flu Spanyol pada 1919.
Filosofi dan Makna Mendalam
Setiap elemen dalam tradisi ini menyimpan makna:
Tanpa berbicara: Melatih pengendalian diri dan fokus ke dalam.
Tanpa alas kaki: Simbol kerendahan hati, kesederhanaan, dan mendekatkan diri pada bumi.
Berjalan berlawanan arah jarum jam: Melambangkan perenungan terhadap masa lalu dan memohon perlindungan di masa depan.
Malam 1 Suro: Momen spiritual yang diyakini penuh energi, cocok untuk memulai niat baru.
Mengapa Tradisi Ini Tetap Relevan?
Meskipun sudah ratusan tahun, Mubeng Beteng tetap menarik di era modern karena:
- Rasa tenang dan reflektif yang jarang ditemui
- Ruang kontemplasi spiritual lintas agama dan keyakinan
- Wisata budaya yang otentik dan bermakna
- Makna universal: instrospeksi, kesederhanaan, dan harapan baru
Mubeng Beteng bukan sekadar jalan kaki malam hari. Ia adalah pelajaran hidup dalam bentuk nyata: berjalan perlahan dalam diam, untuk mendengarkan yang jarang terdengar—suara hati kita sendiri.