KURASI MEDIA – Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali menjadi sorotan pada Agustus 2025. Presiden AS Donald Trump resmi memperpanjang gencatan perang dagang selama 90 hari, menahan kenaikan tarif yang sempat direncanakan hingga 145% untuk produk China dan 125% untuk barang AS. Saat ini, tarif tetap berada di angka 30% untuk impor dari China dan 10% untuk ekspor AS ke China. Langkah ini memberikan waktu tambahan bagi kedua negara untuk merundingkan kesepakatan dagang strategis.
Kesepakatan Ekspor Teknologi: Chip AI Jadi Fokus
Di tengah gencatan tarif, terdapat perkembangan penting di sektor teknologi. Perusahaan semikonduktor raksasa Nvidia dan AMD sepakat memberikan 15% dari pendapatan penjualan chip AI ke China kepada pemerintah AS. Skema ini menjadi syarat untuk mendapatkan izin ekspor, sekaligus kompromi dalam sengketa perdagangan teknologi. Meskipun menuai kritik sebagai “pajak ekspor terselubung”, kesepakatan ini dinilai membuka ruang kerja sama tanpa menghentikan aliran teknologi penting.
Latar Belakang Perang Dagang
Ketegangan dagang AS–China memanas sejak awal 2025. Trump menaikkan tarif impor secara bertahap pada Februari–Maret, yang dibalas China dengan tarif tinggi untuk produk pertanian, otomotif, dan barang konsumsi dari AS. Puncaknya terjadi pada April melalui kebijakan “Liberation Day Tariffs” yang melonjakkan tarif lebih dari 100% di beberapa sektor. Situasi ini sempat memukul rantai pasok global sebelum kedua pihak setuju melakukan gencatan sementara pada Mei.
Baca Juga:12 Agustus: Hari Gajah Sedunia & Hari Pemuda Nasional: Momentum Edukasi dan Aksi NyataKebijakan Hukum Baru untuk UMKM di 2025: Legalitas, Perpajakan, dan Digitalisasi
Dampak terhadap Indonesia dan Dunia
Bagi Indonesia, dinamika perdagangan dua raksasa ekonomi ini membuka peluang sekaligus tantangan. Penurunan impor AS dari China mendorong perusahaan global mencari lokasi produksi alternatif di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sektor manufaktur, tekstil, dan elektronik menjadi kandidat kuat untuk menarik investasi baru. Di sisi lain, ketidakpastian tarif global juga berpotensi memengaruhi stabilitas harga bahan baku dan ekspor nonmigas.
Perpanjangan gencatan tarif dan kesepakatan teknologi menunjukkan bahwa, meski hubungan AS–China masih penuh tensi, diplomasi ekonomi tetap berjalan. Negara seperti Indonesia perlu memanfaatkan peluang diversifikasi pasar dan penguatan rantai pasok agar tetap kompetitif di tengah gejolak perdagangan internasional. (**)