KURASI MEDIA – Jawa Barat hari ini memasuki babak baru di bawah kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi dengan jargon “Jabar Istimewa.” Sebuah semangat yang membawa harapan besar tentang peradaban baru, tentang keberpihakan pada rakyat kecil, dan tentang pemerintahan yang membumi. Namun sebagai seorang aktivis dan akademisi yang hidup di antara ruang perjuangan sosial dan ruang refleksi intelektual, saya melihat bahwa keistimewaan itu tidak boleh berhenti sebagai jargon politik semata. Ia harus menjelma menjadi arah perubahan nyata: memperbaiki yang timpang, menyeimbangkan yang pincang, dan mengembalikan keadilan sosial sebagai ruh pembangunan Jawa Barat.
Berdasarkan rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat tanggal 25 Juli 2025, persentase penduduk miskin di Jawa Barat pada Maret 2025 tercatat 7,02 % atau sekitar 3,65 juta jiwa, menurun dibandingkan September 2024 yang mencapai 7,08 %. Sementara itu, indeks ketimpangan (Gini Ratio) Jawa Barat pada periode yang sama berada di angka 0,416, turun dari 0,428 pada September 2024. Penurunan ini menunjukkan adanya perbaikan, namun angka tersebut masih berada pada kategori ketimpangan sedang dan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di kisaran 0,375. Artinya, distribusi pengeluaran di Jawa Barat masih belum merata, dan manfaat pertumbuhan ekonomi belum dirasakan secara proporsional oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mega-proyek seperti BIJB Kertajati, Tol Cigatas, Pelabuhan Patimban dan kawasan industri baru menjadi ‘lampu sorot’ pembangunan di Jabar. Namun banyak dari proyek-proyek ini belum menjawab pertanyaan mendasar: untuk siapa pembangunan itu? Saya sebagai aktivis dan akademisi mendapati bahwa sering kali masyarakat lokal hanya menjadi saksi atau bahkan korban alih fungsi lahan produktif, janji serapan tenaga kerja yang minim, fasilitas sosial yang tertinggal.
Baca Juga:Melalui Honda Bikers Day, Daya Group dan DAM Berikan Bantuan Mesin Air Minum untuk Yayasan Darul Azkia 42 Inovator Ramaikan Bumi Berseru Fest 2025
Dalam perspektif ekonomi politik pembangunan, proses ini tidak netral. Ia mencerminkan relasi kekuasaan antara negara, modal, dan masyarakat sipil. Di Jabar, pemerintah daerah kerap menjadi fasilitator investasi besar, sementara mekanisme redistribusi keadilan sosial belum optimal. Berdasarkan kajian internal kita selisih wilayah utara-selatan semakin melebar; kawasan industri pesisir dan metropolitan tumbuh pesat, namun wilayah pedalaman dan selatan masih bertahan di sektor pertanian-informal.
