KURASI MEDIA – The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) mengatakan bahwa game online yang mudah diakses namun memiliki konten kekerasan dapat memancing sifat agresif anak untuk melakukan perundungan.
“Tentu saja berbagai bentuk tayangan audio visual, tidak hanya dalam bentuk game online, akan mempengaruhi tingkat agresi anak sedikit banyak,” kata Dewi Rahmawati Nur Aulia, peneliti sosial TII dikutip dari Antara, Kamis (5/10/23).
Dewi mengatakan adegan kekerasan menampakkan sifat agresif yang membuat anak ingin menyerang orang lain baik secara fisik maupun verbal untuk melakukan dan mencapai sesuatu sesuai dengan keinginannya.
Baca Juga:SUV Listrik Honda Prologue Siap Dipasarkan Akhir Tahun 2023, Ini Dia Spesifikasinya!Kalah dari Pasangan China, Febriana/Amalia Berhasil Gagal Melaju ke Babak 16 Besar Cabor Bulu Tangkis Ganda Putri Asian Games 2022
Keinginan pada anak tidak dibarengi dengan bentuk disiplin perilaku seperti menghukum perilaku yang tidak layak atau menghargai perilaku terpuji yaitu pujian, sanjungan dan pemberian hadiah.
Di sisi lain, anak bermain game online juga bisa disebabkan oleh kebiasaan buruk orang tua.
Misalnya, orang tua sering membebaskan anak untuk melakukan apa saja yang diinginkan.
Namun, Dewi mengimbau agar orang tua tetap tenang karena sifat agresif yang muncul akibat game online bisa diatasi melalui modifikasi perilaku.
Dalam konteks ini, perilaku anak dapat dimodifikasi dengan menggunakan metode disiplin perilaku, yaitu menghilangkan atau memodifikasi perilaku agresif yang terjadi untuk mengarahkannya ke arah yang lebih positif, misalnya dengan mengajak anak mengikuti kelas bela diri.
Mengenai sejauh mana perilaku seseorang dapat dianggap mengancam, Dewi menjelaskan bahwa mengancam merupakan perbuatan hukum yang batasannya diatur dalam Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, serta Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pelecehan di muka umum dan penghinaan terhadap martabat manusia.
“Jadi, dengan adanya ketentuan ini, kita juga harus mendorong aparat penegak hukum terkait dan juga lembaga pendidikan, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), melakukan sosialisasi hukum untuk mencegah perundungan terjadi lagi,” kata Dewi.