KURASI MEDIA – Menjelang Sidang Tahunan MPR RI 2025, desakan publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto semakin menguat, khususnya terkait pengembalian konstitusi Indonesia ke bentuk asli UUD 1945. Gelombang aspirasi ini muncul dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga tokoh masyarakat yang menilai bahwa amandemen UUD 1945 pasca-reformasi telah menggeser semangat asli pendirian negara.
Latar Belakang Desakan
Sejak reformasi 1998, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen yang dinilai oleh sebagian pihak mengubah sistem ketatanegaraan secara signifikan. Beberapa poin krusial yang dipersoalkan oleh publik antara lain:
- Peran MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
- Mekanisme pemilihan presiden langsung yang disebut membuka celah politik uang dan pragmatisme.
- Kedaulatan rakyat yang dianggap tereduksi menjadi sekadar suara dalam pemilu, bukan kendali penuh atas jalannya negara.
Tokoh-tokoh seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, hingga kelompok masyarakat sipil menilai bahwa UUD 1945 versi asli lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan demokrasi terpimpin yang memberi ruang bagi sistem gotong royong dan musyawarah.
Baca Juga:Tingkatkan Kesipsiagaan, Pemprov Jateng Intensifkan Pelatihan Kebencanaan Penyandang DifabelDemi Kedaulatan Pangan, Gubernur Jateng Minta Lahan Produktif Tetap Dipertahankan
Sidang Tahunan MPR Jadi Sorotan
Sidang Tahunan MPR yang dijadwalkan berlangsung pertengahan Agustus 2025, disebut menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali diskursus soal kembalinya UUD 1945 yang asli. Dalam berbagai forum dan diskusi nasional, suara-suara tersebut semakin nyaring terdengar.
“Pemerintahan Prabowo punya legitimasi kuat dari rakyat. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita menata ulang sistem ketatanegaraan kita agar benar-benar sesuai dengan jati diri bangsa?” ujar salah satu akademisi hukum tata negara dari UGM dalam diskusi publik di Jakarta, Senin (4/8).
Sikap Pemerintah: Terbuka, Tapi Hati-hati
Menanggapi desakan tersebut, sejumlah pihak di lingkar pemerintahan menyatakan terbuka terhadap aspirasi publik, namun menekankan pentingnya kehati-hatian agar tidak menimbulkan instabilitas.
“Presiden sangat menghargai aspirasi dari rakyat, termasuk soal konstitusi. Tapi semua proses harus konstitusional, terbuka, dan tidak menimbulkan kegaduhan,” ujar Juru Bicara Istana, dalam pernyataan tertulis.
Di sisi lain, Wakil Ketua MPR RI juga menyebut bahwa MPR siap menjadi fasilitator dialog nasional untuk mendengar berbagai masukan mengenai arah reformasi konstitusi.