Warga Patungan Biaya untuk Devit Anak Kuli yang Diterima Di ITB, Rektor ITB Akhirnya Menjemput.

Warga Patungan Biaya untuk Devit Anak Kuli yang Diterima Di ITB, Rektor ITB Akhirnya Menjemput.
Devit Febriansyah (18), siswa SMAN 1 Bukittinggi, dijemput langsung oleh Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., dari rumah sederhananya yang terletak di kaki Gunung Singgalang. (sumber : instagram @santosoim)
0 Komentar

Kondisi ekonomi keluarga yang terbatas membuat mereka tidak sanggup menanggung semua itu. Melihat hal tersebut, warga sekampung ikut turun tangan. Mereka bahu-membahu, menggalang dana dengan menyumbang mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per orang, demi memastikan Devit bisa berangkat ke Bandung.

Sebagai bentuk dukungan lanjutan, Paragon Corp turut ambil bagian dengan memberikan bantuan berupa laptop, uang saku, dan sejumlah produk lain untuk Devit. Bantuan ini diharapkan bisa meringankan beban awal perjalanannya di bangku kuliah.

Namun, di balik segala bentuk dukungan tersebut, tetap tersisa kenyataan pahit: akses ke pendidikan tinggi di Indonesia masih jauh dari kata merata. Bagi banyak orang, kuliah masih menjadi sebuah kemewahan, bukan hak dasar.

Baca Juga:Daftar Brand Kosmetik di Bawah Naungan Paragon CorpGaya Komunikasi Wakil Bupati Garut, Calon Menantu KDM, Menjadi Sorotan

Devit bukanlah satu-satunya anak berprestasi dari latar belakang sederhana. Rektor ITB, Prof. Tata, juga menyempatkan diri mengunjungi dua calon mahasiswa lain yang menghadapi tantangan serupa Nauli Al Ghifari dari SMAN 1 Bukittinggi dan Deka Fakira Berna dari SMAN 1 Padang. Ketiganya menjadi bukti nyata bahwa anak-anak berpotensi besar bisa lahir dari berbagai pelosok tanah air asal mereka diberi kesempatan.

Sorak sorai kegembiraan dan pujian atas kisah-kisah ini juga menjadi bahan refleksi bersama, kita tidak bisa berkilah bahwa pendidikan di tanah air kita sendiri mahal harganya, hingga masih banyak yang harus merelakan mimpinya bisa menempuh pendidikan karena mau tak mau harus menelan pahitnya realita kehidupan.

Cerita Devit sejatinya hanyalah puncak dari gunung es persoalan ketimpangan dalam akses pendidikan di Indonesia. Ia memang menghadirkan keharuan dan semangat, namun juga sekaligus menggugah nurani bahwa di negeri ini, kecerdasan dan tekad luar biasa belum tentu cukup untuk menggapai mimpi, jika tak dibarengi sistem yang adil dan berpihak.

Tanpa bantuan dana, tanpa solidaritas warga, dan tanpa sorotan publik yang datang bagai keajaiban, barangkali Devit hanyalah satu dari sekian banyak anak cerdas yang terpaksa mengubur impian kuliah karena kemiskinan.

Kini, Devit memang telah memulai perjalanannya. Namun kisah ini belum selesai dan seharusnya tidak menjadi pengecualian yang dielu-elukan. Cerita Devit mestinya menjadi sinyal peringatan: bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tak boleh seberat ini, dan tidak selayaknya bergantung pada keberuntungan semata.

0 Komentar