KURASI MEDIA – Presiden Prabowo Subianto diminta menugaskan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit tata kelola pangan nasional. Dorongan ini muncul karena tata kelola yang dinilai belum akuntabel serta pembagian peran antarinstansi yang masih tumpang tindih.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menegaskan bahwa lonjakan harga beras saat ini bukan disebabkan kurangnya stok, melainkan lemahnya manajemen distribusi dan program stabilisasi. Menurutnya, baik program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) maupun penyaluran bantuan pangan belum efektif menekan harga agar sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Ombudsman memperkirakan potensi kerugian negara akibat lemahnya tata kelola beras mencapai Rp 3 triliun, yang muncul dari biaya pengadaan gabah yang mahal, penyimpanan stok hingga mendekati 4 juta ton, serta rendahnya realisasi penyaluran cadangan beras pemerintah.
Baca Juga:Trump Sindir Xi Jinping, Putin, dan Kim Jong Un Usai Bertemu di BeijingTawarkan Promo Bunga Spesial KPR dan KKB Mulai 1,65%, BCA Expo Bandung 2025 Sukses Digelar Selama 2 Hari
“Masyarakat kini menghadapi harga tinggi, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pangan bisa runtuh,” ujar Yeka (3/9/2025).
Data Realisasi dan Distribusi Beras
- Bantuan pangan: realisasi 360.000 ton (98,62%), lebih rendah dari 2024.
- SPHP: baru 302.000 ton (20% dari target 1,5 juta ton), dengan distribusi harian 2.392 ton – jauh di bawah kebutuhan nasional ±86.700 ton.
- Pemantauan Agustus 2025: pasokan gabah ke penggilingan padi menurun, bahkan dari 35 ritel modern di Jabodetabek, 8 di antaranya tidak memiliki stok beras sama sekali.
Harga di pasaran juga melonjak:
- Beras premium: Rp 14.700 – Rp 32.400/kg
- Beras nonpremium: Rp 21.000 – Rp 37.500/kg
- Beras SPHP: Rp 12.500/kg, namun banyak dikeluhkan kualitasnya.
Cadangan Beras Bulog Jadi Sorotan
Dari total stok Bulog sebesar 3,9 juta ton, lebih dari 1,2 juta ton di antaranya berusia lebih dari 6 bulan. Kondisi ini berisiko menyebabkan pembuangan (disposal) hingga 300.000 ton beras dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 4 triliun.
Jika ditotal, potensi kerugian negara akibat tata kelola beras yang lemah bisa menembus Rp 7 triliun. (*)